I Am PoOi 2.0

Solo Exhibition:-

Mohd Fairuz Paisan (PoOi)

25th February – 1st April 2023

Core Design Gallery, Subang Jaya

*Click on images to zoom in

Wall Sculptures

Visual Portfolio, Posts & Image Gallery for WordPress

Standing Sculptures

Mohd Fairuz Paisan Biji Benih Series (Limited Edition of 5) Fiberglass, 2K Auto Paint, Small Pattern Wood Cutting Relief Assemblage and Black Tinted Acrylic Perspex Variable Size (max depth 20cm x width 20cm with variable height) 2023

“I AM POOI 2.0” PoOi, Jejak, dan Ruang Liminal 

Catatan Karen Hardini 

Surely all art is the result of one’s having been in danger, of having gone through an experience all the way to the end, to where no one can go any furtherRainer Maria Rilke 

“Karya-karya seni senantiasa merupakan sebuah hasil dari risiko yang harus dilalui, dari sebuah pengalaman yang dijalani sampai batasnya yang paling jauh, ke suatu titik di mana orang tak bisa melanjutkan lagi” Rainer Maria Rilke 

“I Am PoOi 2.0” menandai jejak sejarah dalam koridor tranformasi diri dan pencapaian artistik pada suatu periode tertentu. Sebagai suatu jejak, ini merupakan hasil risiko dan refleksi dari apa yang telah, sedang, dan ingin direngkuh melalui karya patung Mohd Fairuz bin Paisan yang kita kenal dengan sebutan PoOi. Jejak ini berkaitan erat dengan proses dan identitas seorang pencipta seni (artist). Perjumpaan PoOi dengan Core Design Gallery merupakan kedua kalinya dalam proses menuju dan bertahap. Jika dalam “I am PoOi 1.0” ia menyodorkan karya menggunakan media kayu yang memiliki beragam bentuk sebagai upaya ekplorasi awalan. 

Lompatan ide, bentuk, dan material kali ini nampak diperhitungkan dengan matang, detail, dan spesifik. Menampilkan karya dalam pameran tunggal kedua tentu menjadi jalan yang membutuhkan konsekuensi yang tidak sederhana dan serius. Pada PoOi, kita akan segera melihat karya berbasis kayu dan pola yang ditampilkan sebagai metode spesifik. Kayu menjadi penting di mana ia adalah seorang yang lahir dari kalangan tukang kayu. Pada kali ini ia hadir dengan mengkombinasikan material fiberglass sebagai medium artistiknya. 

Dekat dengan pekerjaan teknis yang disiplin, merawat karya seni sebagai installer, membuat pigura, dan mengerjakan hal lain yang berhubungan dengan kayu dalam rentang waktu yang cukup lama. Kerja-kerja disiplin membawanya menekuni medium kayu sebagai pilihan artistik yang diolah dalam bentuk-bentuk yang dinamis dan senada, dengan tema-tema berbeda. Namun sering kali ia mendiskusikan tentang religiusitas, spiritualitas, dan historisitas pada dinamika kerja dalam ruang kulturalnya sebagai benang merah. Kayu (local wood: Nyatoh dan Balau) menjadi sangat dekat pada diri PoOi baik secara domestik maupun artistik. 

Menarik ketika melihat sosok PoOi dalam beberapa tahun belakangan sebagai seseorang yang bekerja di belakang layar, turut bersama seniman-seniman andal dan legendaris Malaysia. Pertemuan PoOi dengan perupa senior memang perlu dilihat sebagai konteks di mana kerja artistik dan mentalitas tetap terjaga dengan baik, sebagai upaya merawat jejak dan mengembangkannya. Sebut saja Hamir Soib Mohamed, Ahmad Shukri Mohamed, Bayu Utomo, dan beberapa seniman senior lainnya turut serta memberi penanda penting pada jejak perjalanan berkesenian PoOi hingga hari ini. 

Barangkali ini adalah sebuah kearifan yang datang dari proses kreatifnya selama ini; menjadi installer, pembuat pigura dan spanram, hingga melakukan kerja-kerja balik layar bersama perupa senior. Pada akhirnya menemukan sebuah titik di mana gerak kreatif harus berhenti untuk berkontemplasi, dan berlanjut pada koridor diri yang provokatif dengan ambisi artistik secara mandiri yaitu menjadi “I Am PoOi” sebagai seorang perupa. Ini menjadi ambisi yang patut disambut dengan suka cita, melahirkan benih-benih karya individualis yang ideologis. 

Garis Magis Lingkaran Konsentris PoOi 

Garis magis lingkaran yang hadir dan melekat erat salah satunya dapat ditemukan dalam satu huruf pada namanya sendiri yaitu O, pada PoOi. Selebihnya, Irama visual dan kayu menunjuk pada kosmologi bentuk geometris lingkaran yang melesak masuk pada kedalaman yang nampak tak terbatas segera terbaca. Material fiberglass yang membungkus kulit luar dan bentuk meliuk kayu yang seolah-olah menuju pusat yang sistemik hadir di dinding dan beberapa pada vustek. Karyanya seperti hendak berlaku sebagai memori yang hadir secara organik pada diri PoOi. 

Karya PoOi kali ini terdiri dari dua bentuk yaitu geometris lingkaran yang berpeluang untuk bertransformasi pada bentuk yang sangat plastis, dan pola seperti gelombang aliran air yang seolah bergerak. Hal tersebut dapat menjadi makna dan spirit yang menghasilkan modifikasi struktur, dan jika hal yang sama diulang, maka hasilnya akan menjadi lebih kuat dan akhirnya berkembang menjadi suatu bentuk yang menggiring untuk memiliki tujuan dalam ranah filosofis PoOi, yaitu sebuah perjalanan yang belum usai. 

Lebih dekat lagi, bentuk geometris lingkaran yang sangat menonjol dalam karya visualnya dapat membuka celah mengarahkan penonton pada bentuk dinamis kayu yang mengingatkan pada citraan ragam hias Miangkabau dan Melayu yaitu Itiek Pulang Peteng, suatu motif yang melambangkan keserasian dan keteraturan. 

Pameran PoOi kali ini menampilkan sebanyak 6 karya patung dinding utama berjudul “Dalam Bulat Ada Bulat” dan 5 seri karya patung bebas berdiri berjudul “Benih”. Repetisi bentuk pola lingkaran (circle) dinamis menjadi menonjol dengan elemen pola kayu yang dibentuk meliuk menggunakan medium kayu. Lingkaran sebagai dasar bentuk, dalam spekulasi filosofis hadir sebagai simbol kesempurnaan, sebagai metafora alam semesta dan ketuhanan. Penciptaan PoOi membuat saya teringat pada konsepsi teologis Plato tentang tidak ada bagian yang sempurna kecuali kepala yang memiliki bentuk sempurna. Kesempurnaan itu, adanya pikiran manusia yang bertindak sebagai akal manusia dalam metafora ke-bulatan-an. Kita melihatnya di dalam karya PoOi, bulat yang dinamis, sekaligus di saat yang sama dapat menjadi magis. 

Dalam pameran ini, PoOi beranjak lebih jauh, ditandai dengan beberapa performanya dalam meniti jalan kesenimanannya. Pertama, kerja artistik mengolah kayu sebagai elemen yang ia pilih nampak lebih kuat menjadi ujung pangkal konsistensi dalam proses mendekati kayu sebagai media utama. Kedua, upaya beranjak pada penggabungan material fiberglass menjadi ekplorasi yang patut untuk dihargai. Ketiga, pergerakan yang muncul menampilkan sebuah ilusi yang halus pada penonton untuk masuk menyelami ada hal yang sesungguhnya terjadi dalam bulatan yang ia ciptakan dalam arti kehidupan. 

PoOi dengan karya patung dindingnya dapat terbaca seolah-olah ingin menunjukkan apa yang ada di dalam lingkaran magisnya. Jika fiberglass dapat ditandai sebagai metafora kulit bagian luar atau wajah tampak depan yang indah, halus, dan memesona. Maka ketika coba saksikan dengan jeli PoOi seperti mengupas, membelah, dan menyodorkan apa yang nampak jauh di dalam sana. Ia menggiring penonton untuk mengamati lebih jauh dimensi kedalaman bentuk pada karya tentang pergerakan apa yang terjadi, seperti menuju pusat yang senyap, kudus, tak terbatas, dan suci. 

Sementara konsep perpaduan dua material tersebut memiliki kecenderungan pada mengejar kesan visual pop-kultur dan kontemporer. Ini merupakan sebuah ekplorasi yang selaras, elegan, dan kental dengan nuansa art deco. Karya-karya yang ditampilkan pula merupakan ekplorasi dari bentuk formalistik; konfigurasi dari bentuk-bentuk yang memperhitungan diameter, proporsi bentuk, dan lapisan tertentu hingga jarak pada setiap kayu yang disusun. Kayu yang ia bentuk seperti aliran air yang mengalir, pada saat yang sama dalam kejauhan seperti bulir-bulir jeruk dengan jumlah banyak. Ia ingin menunjukkan kedalaman isi yang kompleks dan tak sesederhana apa yang dilihat kebanyakan orang dari luar. Menunjukan isi yang komplek dan dinamis. 

Seperti pada karya “Dalam Bulat Ada Bulat – Merah itu Keberanian”, penonton akan segera dipertontonkan pada bentuk dinamis lingkaran yang menjadi oval dan di dalamnya terdapat lingkaran sempurna. PoOi memvisualisasikan kayu dengan dinamis dan memberi kesan gerak rotasi ke dalam seperti menuju titik hilang yang tak terhingga. Pada kulit ia berikan warna merah sebagai tanda keberanian, ini menjadi tafsir yang lugas tentang rotasi perjalanannya yang bermuara pada doa untuk selalu berani dalam setiap langkah. Sementara “Dalam Bulat Ada Bulat – Hijau itu Ketenangan”, memiliki putaran dengan arah yang sama yaitu menuju pusat pada pertemuan dua sisi yang justru bertemu pada satu titik tengah, seperti membuat garis tengah. Kedua karya ini seolah-olah memiliki dikotomi kebentukan dan konsep warna, namun tetap terlihat dinamis. 

Sementara “Dalam Bulat Ada Bulat – Kuning Itu Kebijaksanaan”, dan “Dalam Bulat Ada Bulat – Biru Muda Itu Kekuatan” PoOi menempatkan pola kayu yang memiliki kesan berlawanan arah mata angin, juga jika disejajarkan dengan “Dalam Bulat Ada Bulat – Kelabu itu Kestabilan”, ketiganya menyodorkan bentuk lingkaran yang seolah-olah bergerak menuju pusat masing-masing. Jika itu dapat bebas dimaknai, maka pertemuan antara ovum dan sperma pada dinding telur secepatnya ada di kepala saya, dan juga diamini oleh sang perupa. Di sanalah titik pangkal kehidupan dan alam semesta ada. Lebih spesifik lagi bahwa suatu kekuatan jika dibalut dengan kebijaksanaan maka akan mencapai kestabilan dalam berfikir dan bertindak. 

Sedangkan “Dalam Bulat Ada Bulat – Hijau Zaitun itu Kesopanan” menyodorkan gerak irama yang pada akhirnya nampak seperti ilusi atas efek artistik yang ditimbulkan pada empat sisi yang saling berkonfigurasi, seperti kehidupan dan alam semesta yang bergerak pada rotasinya masing-masing, seperti membentuk arah konvergen dan divergen. Ditambah gradasi yang ditimbulkan dari kayu secara natural semakin menampah pesona artistik karya. 

Lima karya seri berjudul “Benih” merupakan bentuk dari metafora ‘benih’ yang menampakkan sisi modernitas, sebuah benih dari lahirnya pangkal sesuatu, sebuah jumlah yang ganjil dan mensyaratkan suatu hal yang paling dalam dan intim yaitu rukun Islam sebagai konteks kepercayaan dan religiusitasnya. 

Karya-karyanya dalam jarak pandang tertentu tertangkap sebagai ruang antara pada batas ambang, antara yang tradisional dan manual, yang asing dan asli, yang dinamis dan terkungkung, seolah-olah terukur dalam bentuk. Karya-karya patung dinding yang seolah- olah terbuka, menampilkan dunia dalam yang terlihat telanjang, maka sebenarnya karya PoOi seperti ungkapan Paul Klee: “seni bukanlah menampilkan apa yang terlihat, melainkan membuat terlihat”. 

Jika diamati lebih jauh, ada ruang yang lengang dan jauh menuju pusat tak terbatas, barangkali PoOi sengaja ingin mengajak penonton untuk meresapi ruang di antara itu lebih jauh, lebih intim, subtil, dan bersifat kontemplatif. Karya-karya PoOi sejatinya menyentuh tataran spiritualitas yang terbungkus melalui karya yang memiliki kecenderungan pada sisi permainan kebentukan. 

Posisi dan Ruang Antara 

Pameran ini sewajarnya adalah bentuk dari hasil pertarungan dan negosiasi yang melibatkan proses interaksi diri PoOi dengan dinamika seni secara luas, dengan dinamika penciptaannya sendiri. Laju cepat perkembangan masyarakat seni kontemporer, sebagaimana ia hari ini turut merepresentasikan persilangan budaya yang majemuk dan kompleks, yang pada akhirnya mempertemukan ruang liminal. Ruang itu menunjukkan pada situasi ambang di mana apa yang telah dan sedang diketahui atau dihadapi, sebagai bentuk dari tujuan dan fungsinya pada ‘ruang antara’ antara situasi dengan situasi yang lain. ‘Ruang antara’ itu memungkinkan dialog yang menjadi refleksi ideologi PoOi yang tak sekadar menjalani peran di belakang layar, tetapi juga sebagai seorang perupa atas pembacaan ruang dan peluang kemungkinan. 

Ruang kesenian seperti itu memang semestinya bertumpu pada suatu persoalan dalam watak jujur, otentik, saling mendukung, dan membukanya pada ruang dialog yang meluaskan pemikiran pada cakrawala individu. Persoalan pop-kultur terlihat pada karya-karyanya, namun begitu saya menangkap ketekunan dan kejelian terkesan kuat dalam performativitas PoOi sebagai perupa. Di saat yang sama, persoalan bentuk dan material yang terus berubah dan berganti sesuai tuntutan pasar dan zaman. Sekalipun ia tidak sedang bertaruh dengan kecemasan dan kegamangan pada fenomena tertentu, karyanya mampu menyodorkan konsep bermain-main dengan bentuk dan kesan ilusi gerak. Pergerakan ini pada dasarnya adalah gambaran nyata pada proses yang menjadi sesuatu dalam diri PoOi sebagai seniman. 

Melalui lingkaran konsentris yang dinamis, di saat yang sama turut serta membentuk seperti lubang, ruang semacam kesan membentuk pusaran yang misterius dan bergerak, maka kita dapat saja menyebutnya dengan bulatan konsentris rotasi kehidupan yang kosmologis. Karenanya, jika kita merasa gentar, terpana, dan larut dalam bentuk yang membawa kita bergerak menuju pusat, seperti menampakkan sesuatu yang tak terbatas, maka karya itu telah berhasil membawa pada tafsir yang beragam kepada kita yang menatapnya. 

Melalui jejak dan karya-karya pada “I Am PoOi 2”, kehadirannya telah menjadi sebuah risiko sebagai akibat dari keresahan yang timbul dari proses yang dijalani sebagai seorang pekerja seni, untuk melahirkan karya seni yang berkelanjutan, sampai batasnya yang paling jauh, hingga kelak di titik tak dapat melanjutkannya. Gerak proses dan artistiknya saat ini tentu menandakan posisinya pada gelanggang penciptan seni kontemporer hari ini. 

Melihat upaya PoOi mengolah bahan kayu dan material lain seperti saat ini, patut untuk diapresiasi tinggi. Akan tetapi sebuah proses dan masa memiliki tantangannya sendiri, persoalan ekplorasi kayu mungkin belum seutuhnya selesai, ia akan jauh lebih intim lagi apabila mengenal kayu sejak benih hingga besar, mengenal bagaimana struktur detail kayu secara filosofis dapat diekplorasi secara eksplisit pada eksekusi karyanya di kemudian hari. Melalui karya-karya ini, ia nampak masih mengeksplorasi hasil bentukan potongan kayu, merangkai dan merepetisinya, meskipun ia telah mengenalnya sejak kecil. Meski demikian, gagasan kosmologisnya pada bentuk bulat dan lingkaran menjadi sangat spiritualis dalam setiap jejak dan gagasannya. Momentum ini akan memiliki nafas panjang dalam sebuah proses perjalanannya kemudian. 

Kerja-kerja penciptaan karya sebagaimana yang dilakukan oleh PoOi ini, saya kira merupakan titik awal dari pekerjaan rumah yang panjang. Seniman masih menggunakan cara pandang yang menyentuh permukaan, pada ujung pangkal kebentukan yang formalistik, sehingga kompleksitas isunya pun masih dapat tergali dengan lebih kuat, dan lebih “mengganggu” dalam perspektif kritis. Tetapi saya kira, yang penting dari kerja berkaryanya adalah sebuah proses yang tak sebentar, sebuah titian yang perlahan menemukan benang merah ideologis seorang perupa atas penemuan dan pilihan gagasan, bentuk, material, hingga konteks. Mengolah dan menjadi liar, serta ekpresif dalam mengekplorasi bentuk lingkaran dan bulatan, tentu mampu diolahnya lebih lanjut untuk menghasilkan karya-karya yang lebih provokatif di mata spektator. 

Jika medium kayu telah lekat dengan makna geografis dan historisitas kehidupannya, juga turut menemani kerja artistiknya selama beberapa tahun belakangan, maka proses selanjutnya, bagaimana material kayu dapat membawanya masuk dalam khazanah kosmologisnya lebih lanjut? Bagaimana ia bergerak pada tataran sakral dan profan yang agresif dan ekpresif dalam kebentukan, pemaknaan dan pemanfaatan lewat naturalistik kayu pada setiap guratan dan serat, warna, hingga sejarah asal-usulnya? “Dalam Bulat Ada bulat” menjadi satu titik yang kelak akan membawanya pada temuan proses yang lebih jauh dan tak terbatas. Semoga dan percaya. 

Karen Hardini Yogyakarta, Indonesia, 18 Februari 2023 

Translated version

“I AM POOI 2.0” PoOi, Traces, and Liminal Space

Notes by Karen Hardini

“Surely all art is the result of one’s having been in danger, of having gone through an experience all the way to the end, to where no one can go any further” Rainer Maria Rilke

“I Am PoOi 2.0” marks a historical milestone in the corridor of self-transformation and artistic achievements in a particular period. As a trace, it is the result of risks and reflections of what has been, is currently, and desires to be embraced through the sculptures of Mohd Fairuz bin Paisan, known as PoOi. This trace is closely related to the process and identity of an artist. The encounter between PoOi and Core Design Gallery marks the second time in the gradual journey. In “I Am PoOi,” he presented works using wood as a diverse medium for initial explorations.

This time, leaps of ideas, forms, and materials appear carefully calculated, detailed, and specific. Presenting works in the second solo exhibition is undoubtedly a path that requires complex and serious consequences. With PoOi, we will soon witness works based on wood and patterns displayed as specific methods. Wood holds significance as he was born into a family of carpenters. This time, he combines fiberglass as his artistic medium.

Being close to technical and disciplined work, taking care of artwork as an installer, making frames, and working on various wood-related tasks over a considerable period. These disciplined works led him to delve into wood as an artistic choice, expressed in dynamic and harmonious forms with different themes. However, he often discusses religiosity, spirituality, and historicity in the dynamics of his work within the cultural space as the common thread. Wood (local wood: Nyatoh and Balau) becomes deeply ingrained in PoOi’s personal and artistic life.

It is fascinating to see PoOi’s figure in recent years as someone who works behind the scenes, collaborating with skillful and legendary Malaysian artists. PoOi’s meetings with senior artists should be viewed as a context where artistic work and mentality are well-preserved, as an effort to nurture and develop his artistic journey. Notable figures such as Hamir Soib Mohamed, Ahmad Shukri Mohamed, Bayu Utomo, and other senior artists have played an important role in marking the artistic trajectory of PoOi to this day.

Perhaps this wisdom comes from his creative process so far: being an installer, frame and canvas maker, and working behind the scenes with senior artists. Ultimately, it led him to a point where creative movement must pause for contemplation and continue on the provocative path of self as an independent artist, “I Am PoOi.” This ambition should be welcomed with joy, giving birth to the seeds of individualistic and ideological works.

PoOi’s Magical Line of Concentric Circles

The magical line of the circle is closely associated with one letter in his name, namely the letter “O” in PoOi. Furthermore, the visual rhythm and wood point to a cosmology of geometric circular forms that penetrate into an infinite depth, immediately noticeable. The fiberglass material that wraps around the outer skin and the curving wood forms that seemingly lead to a systematic center appear on the walls and some on the pedestals. His works seem to act as organic memories within PoOi.

This time, PoOi’s works consist of two forms: dynamic circular forms that have the potential to transform into highly plastic shapes, and patterns resembling the flow of water waves, giving the illusion of movement. These elements generate meanings and spirits that result in modifications of structure, and if repeated, they become stronger and eventually evolve into a form that leads to a philosophical journey that is not yet complete.

Taking a closer look, the prominently featured geometric circular forms in his visual works open up a space that directs the viewer’s attention to dynamic wood shapes reminiscent of the decorative motifs of the Minangkabau and Malay cultures, such as Itiek Pulang Peteng, a motif that symbolizes harmony and order.

The PoOi exhibition showcases 6 main wall sculptures titled “Dalam Bulat Ada Bulat” (Within the Circle, There is a Circle) and 5 series of free-standing sculptures titled “Benih” (Seeds). The repetition of dynamic circular patterns stands out, with wood patterns formed by curving wood using wood as the main medium. In philosophical speculation, the circle represents perfection, as a metaphor for the universe and divinity. PoOi’s creations remind me of Plato’s theological conception that nothing is perfectly whole except the head, which has a perfect form. Perfection lies in the human mind, which acts as human reason in the metaphor of circularity. We see this in PoOi’s works, the dynamic circles that are simultaneously magical.

In this exhibition, PoOi goes further, marked by several performances in navigating his artistic path. Firstly, his artistic work in manipulating wood as the chosen element appears stronger, becoming the foundation of consistency in approaching wood as the primary medium. Secondly, there is an exploration and integration of fiberglass material that deserves appreciation. Thirdly, the movements that emerge present a subtle illusion to the viewers, inviting them to delve into the true meaning of life within the created circles.

Through his wall sculptures, PoOi seems to want to reveal what lies within his magical circles. If fiberglass can be seen as a metaphor for the outer skin or the beautiful, delicate, and mesmerizing front face, PoOi, with careful observation, seems to peel, divide, and present what lies far within. He guides the viewers to observe the dimensional depth of the forms, a movement towards a silent, sacred, boundless, and pure center.

While the concept of combining the two materials tends to pursue a visual impression of pop culture and contemporaneity, it becomes an exploration that is harmonious, elegant, and imbued with an Art Deco atmosphere. The exhibited works also explore formalistic forms, configurations of shapes that consider diameter, proportion, specific layers, and the distances between each arranged piece of wood. The shaped wood flows like flowing water, yet in the distance, it resembles numerous orange seeds. PoOi wants to showcase the complexity and depth of content, which is not as simple as it appears to most people from the outside, revealing a dynamic and complex essence.

For example, in the work “Dalam Bulat Ada Bulat – Merah itu Keberanian” (Within the Circle, There is a Circle – Red Represents Courage), viewers are immediately presented with dynamic circular forms that transform into ovals, containing perfect circles within them. PoOi visualizes wood dynamically and creates the impressionof rotational movement that leads towards an infinite vanishing point. The red color on the surface represents courage, conveying a straightforward interpretation of the rotational journey that culminates in a prayer for the courage to take each step. Meanwhile, “Dalam Bulat Ada Bulat – Hijau itu Ketenangan” (Within the Circle, There is a Circle – Green Represents Serenity) features a rotation with the same direction, converging at the meeting point of two sides, resembling a central line. These two works seemingly possess dichotomies in their forms and color concepts, yet they remain dynamic.

On the other hand, “Dalam Bulat Ada Bulat – Kuning Itu Kebijaksanaan” (Within the Circle, There is a Circle – Yellow Represents Wisdom), and “Dalam Bulat Ada Bulat – Biru Muda Itu Kekuatan” (Within the Circle, There is a Circle – Light Blue Represents Strength) present wood patterns that create the impression of opposing directions, and when aligned with “Dalam Bulat Ada Bulat – Kelabu itu Kestabilan” (Within the Circle, There is a Circle – Gray Represents Stability), all three exhibit circular forms seemingly moving towards their respective centers. If interpreted freely, these works evoke the meeting of an ovum and sperm within an eggshell, resonating with the artist’s affirmation. That is where the starting point of life and the universe resides. Furthermore, it specifically suggests that when power is enveloped by wisdom, stability in thinking and acting can be achieved.

As for “Dalam Bulat Ada Bulat – Hijau Zaitun itu Kesopanan” (Within the Circle, There is a Circle – Olive Green Represents Propriety), it presents a rhythmic movement that eventually appears as an illusion created by the artistic effects on the four configured sides, resembling the movements of life and the universe, forming converging and diverging directions. The added gradation resulting from the natural wood further enhances the artistic charm of the work.

The five sculptures in the “Benih” series embody the metaphor of “seeds,” showcasing a modern aspect, the seed of the beginning of something, an odd number that requires a profound and intimate element, namely the Five Pillars of Islam as a context of belief and spirituality.

His works, to a certain extent, capture the space in between the threshold, between the traditional and the manual, the foreign and the original, the dynamic and the confined, seemingly measured in form. The wall sculptures, which appear to be open, display an inner world that seems naked, making PoOi’s work a realization of Paul Klee’s expression: “Art does not reproduce what is visible; it makes visible.”

If observed closely, there is a vacant space that leads to an infinite center, perhaps intentionally inviting the viewer to immerse themselves deeper, into a more intimate, subtle, and contemplative space. It is an invitation to experience the journey of interpretation, perception, and engagement with the artworks, to delve into the artist’s exploration and to uncover the meanings that go beyond the surface.

Postion and Space in-between

Overall, PoOi’s exhibition explores the interplay of forms, materials, colors, and concepts, presenting a dynamic and complex essence that invites viewers to engage with the depths of his artistic expression.

This exhibition is rightfully a form of the outcome of a battle and negotiation involving the self-interaction process of PoOi with the dynamics of art at large, with the dynamics of his own creation. The rapid pace of development in contemporary art society, as it stands today, represents the intersection of diverse and complex cultures, ultimately converging in liminal spaces. These spaces indicate a threshold situation where what has been known or faced, as a form of purpose and function in the “in-between” space between situations. This “in-between” space allows for dialogue that reflects PoOi’s ideology, not merely playing a behind-the-scenes role but also as an artist who reads space and potential opportunities.

Such artistic spaces should ideally be based on honest, authentic, mutually supportive characteristics that open up dialogue and broaden individual perspectives. Pop culture issues are evident in his works, but I sense a strong dedication and keenness in PoOi’s performative nature as an artist. Simultaneously, the ever-changing forms and materials adapt to market demands and the times. Even though he is not grappling with anxiety and uncertainty about specific phenomena, his work presents a concept of playing with forms and the illusion of movement. This movement essentially represents a tangible depiction of the process that becomes something within PoOi as an artist.

Through dynamic concentric circles that also form openings, creating a space that resembles a mysterious and moving vortex, we can call it a cosmological rotation of life. Therefore, if we feel awe, captivation, and immersion in forms that lead us towards the center, revealing something boundless, then the artwork has successfully brought forth diverse interpretations for us who observe it.

Through the traces and works in “I Am PoOi 2.0,” his presence becomes a risk resulting from the restlessness arising from the process he undergoes as an artist, to give birth to continuous artworks, reaching the furthest limits until one cannot proceed any further. His current artistic process and movements signify his position in the realm of contemporary art creation today.

Looking at PoOi’s efforts in working with wood and other materials, it is worthy of high appreciation. However, every process and era has its own challenges. The exploration of wood may not yet be fully complete; it will be even more intimate if he explores wood from seed to maturity, understanding how the detailed structure of wood can be explicitly explored philosophically in his future executions. Through these works, he still appears to explore the formations of wood pieces, assembling and repeating them, despite having known them since childhood. Nonetheless, his cosmological ideas about circular and spherical forms become highly spiritual in every trace and concept. This momentum will have a lasting breath in his journey ahead.

The process of creating artworks, as undertaken by PoOi, is, in my opinion, the starting point of a lengthy task. Artists still employ surface-level perspectives, focusing on the formalistic beginnings, which allows for stronger excavation of the complexity of the issues and a more “disruptive” critical perspective. But what matters in his artistic work is a process that takes time, a gradual bridge that discovers the ideological common thread for an artist through the exploration and selection of ideas, forms, materials, and contexts. By refining and becoming more expressive in exploring circular and spherical forms, he can undoubtedly further develop provocative works in the eyes of spectators.

If wood as a medium has become ingrained with geographic and historical significance in his life and has accompanied his artistic work in recent years, then the next process is how wood as a material can further immerse him in his cosmological realm. How does he navigate the aggressive and expressive sacred and profane dimensions in shaping, interpreting, and utilizing wood in its naturalistic form, considering every grain, fiber, color, and the history of its origin? “Dalam BulatAda Bulat” (Within the Circle, There is a Circle) becomes a point that will eventually lead him to further discoveries in an endless process. May it be so, and believe it to be.

Karen Hardini Yogyakarta, Indonesia, 18 February 2023

Study Works

Visual Portfolio, Posts & Image Gallery for WordPress
Top